Mar 13, 2012

Oposisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam kabinet presidensial, hubungan antara Presiden dan DPR tidak didesain dalam pola koalisi atau oposisi, melainkan lebih dalam pelaksanaan checks and balances. Dalam hal legislasi, DPR tidak boleh menerima atau menolak RUU secara apriori yang diajukan pemerintah. Dalam fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) yang diajukan Presiden. Dan, dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh secara apriori menutup mata terhadap apa yang dilakukan Presiden/pemerintah. Meskipun Presiden tersebut berasal dari partai politik yang sama. Kriterium penerimaan atau penolakan DPR hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak.

Di sini tidak ada kriterium koalisi atau oposisi. Meskipun berasal dari partai yang berkoalisi, anggota DPR tetap bertugas mengawasi Presiden yang didukung koalisi. Pasalnya, power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Sebab siapa pun dia, begitu mereka memegang kekuasaan maka yang berlaku adalah hukum kekuasaan: cenderung untuk korup. Karena itu harus diawasi. Dalam konteks dan perspektif ini maka dalam sistem UUD 1945 koalisi partai-partai politik hanya bisa dilakukan di dalam satu lembaga negara, tidak bisa lintas lembaga negara. (Hajriyanto Y Thohari, 2010).

Dalam kabinet presidensial, peran oposisi partai politik di Indonesia kurang efektif. Hal ini diakibatkan pemaknaan arti oposisi yang masih setengah hati. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas menyebutkan, bahwa oposisi yang dimaui oleh publik lebih pada peran oposisi yang soft, seperti menjadi penyeimbang, pengontrol, dan mitra kerja pemerintah. Sebaliknya, konsep peran oposisi yang dihindari publik adalah yang agak radikal seperti menjadi “kekuatan lawan” bagi pemerintah sebagaimana dikenal di negara-negara lain, atau dalam terminologi ilmu politik.

Terdapat tiga masalah fundamental terkait ide koalisi atau oposisi di Indonesia (Sunny Tanuwijaya, 2010) yang harus diklarifikasi dan diselesaikan sebelum koalisi politik di Indonesia dapat stabil pada masa mendatang. Pertama, tidak jelasnya arti partai koalisi dan partai oposisi dalam politik Indonesia. Kedua, dasar bagi koalisi pendukung pemerintah lebih banyak terkait kepentingan politik ketimbang persamaan visi dan kebijakan. Ketiga, mekanisme sanksi terhadap partai koalisi yang “membelot” tidak jelas.
Melihat gejala di atas, publik tetap sepakat dan berharap dengan hadirnya kekuatan oposisi. Memang haus ada kekuatan oposisi di parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), yang akan melakukan fungsi kontrol terhadap pemerintah.

Kenyataan di atas menunjukkan, bahwa publik berharap parpol yang berkoalisi dengan pemerintah jangan sampai kehilangan daya kritisnya. Di sini diharapkan parpol yang masuk koalisi pendukung pemerintah berhak melakukan kritik dan kontrol terhadap pemerintah, seperti halnya yang dilakukan oleh Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera belakangan ini.

Masih dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas, peran oposisi tidak sekadar dimaknai sebagai kekuatan di luar pemerintah, tetapi lebih dari itu. Peran oposisi adalah menjaga kekuasaan agar tetap berada di rel yang benar. Oposisi bukan kumpulan kekuatan yang sakit hati karena kalah dalam pemilihan umum (pemilu) atau tidak mendapatkan kursi kekuasaan, sehingga berbalik memusuhi pemerintah. Oposisi tidak bisa dipahami sekadar berbeda dengan pemerintah.

Oleh karenanya, makna oposisi seharusnya lebih mulia dari itu. Jika pemerintah salah, oposisi akan menyadarkan publik agar melakukan tekanan. Sebaliknya, jika pemerintah benar, oposisi harus mengajak publik mendorong pemerintah tetap konsisten.

Dewasa ini, dalam hal reshuffle, presiden takut kehilangan dukungan politiknya jika menggeser menteri yang partainya tidak loyal. Sementara itu, partai sulit membentuk koalisi-oposisi yang sempurna, karena sebagian kadernya duduk di pemerintahan. Akibatnya, presiden dipandang tidak tegas, sementara partai politik menghadapi problem konsistensi. Proses demokrasi tampaknya telah mencapai titik tengah dari kontinum stagnasi politik, sebagai akibat dari benturan dua sistem yang tumbuh demikian cepat dalam sistem politik Indonesia.

Tidak mudahnya melakukan pergantian menteri di Indonesia, selain ditentukan karakter presiden dan partai politik, sebagian juga dilatarbelakangi oleh sistem pemerintahan yang dianut. Sistem multipartai merupakan komplemen yang ideal bagi sistem pemerintahan parlementer. Adapun sistem pemerintahan presidensial idelanya memang berpasangan dengan sistem kepartaian yang dwipartai.***

sumber :  surabayapagi.com

No comments:

Post a Comment